MAKALAH
MAHRAM NIKAH
Di susun oleh
1. Achmad Suyudi (1)
2. Ayu Wandira (5)
3. Ni’mah (6)
4. Nur Mukaromah (8)
5. Yulia Wijayanti (10)
6. Lilik Anisa Bahar (22)
7. Syaidatun (25)
SMK DARUL-SALAM SERANG
TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul : “ Mahram Nikah ”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Muhammad Arief, S.PdI. selaku Guru Pembimbing yang telah banyak memberikan saran dalam menyusun makalah ini.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami khususnya, dan segenap pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk menuju kesempurnaan makalah ini.
Kudus, Januari 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul Awal…………….……………………………….………… i
Halaman Judul ………………….……………………………….………… ii
Kata Pengantar ……………………………………………………………. iii
Daftar Isi …………………………………………………………………… iv
BAB I Pendahuluan …………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang ………………………………..…………… 1
1.2. Rumusan Masalah …………………………………………. 2
1.3. Tujuan ……………………………………………………… 2
BAB II Pembahasan dan Isi………………………………..…………… 3
2.1. Pernikahan dan Permasalahannya……..………………….... 3
2.2. Mahram Nikah ………………………………….………….. 5
BAB III Penutup ……………………………………………..…………... 9
3.1. Simpulan ………………………………………................. 9
3.2. Saran ………………………………………………………... 9
Daftar Pustaka …………………………………………………………….. 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkahwinan adalah merupakan sunnah Rasulullah s.a.w. dan digalakkan di dalam Islam serta dituntut oleh hukum syarak, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang maksudnya :
" Nikah itu adalah sunnahku, maka sesiapa yang benci sunnahku maka sesungguhnya ia bukan dari golonganku ". ( Riwayat Ibnu Majah )
Perkahwinan itu dituntut oleh hukum syarak karena dalam Al-Qur’an terdapat perintah kahwin atau nikah yang artinya seperti berikut :
"Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan -perempuan lain dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil ( di antara isteri-isteri kamu ) maka berkahwinlah dengan seorang sahaja". ( Surah An - Nisaa' - Ayat 3 )
Dan dikuatkan dalam As-sunnah Rasulullah SAW. : " Wahai pemuda-pemuda, sesiapa yang mampu di antara kamu (mempunyai belanja serta keinginan) hendak berkahwin, hendaklah ia kahwin, karena sesungguhnya perkahwinan itu akan memejamkan matanya (terhadap orang yang tidak halal dilihatnya) dan terkawal kehormatannya dan sesiapa yang tidak mampu berkahwin hendaklah ia berpuasa, bahawa puasa itu menjadi benteng". ( Riwayat Muslim )
Pernikahan mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum yang harus dipenuhi. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perselingkuhan dan perzinaan dengan saudara sepupu atau kerabat terdekat , adalah sebagian peristiwa yang sudah banyak terjadi di sekitar kita. Hal ini terjadi karena hukum syariat telah dilanggar dan diabaikan. Berduaan dengan kerabat non mahram, menampakkan aurat di depannya, dsb, merupakan perbuatan-perbuatan yang tanpa sadar sering lakukan dengan menjadikan hubungan kekerabatan sebagai tameng.
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang hendak dikaji dalam makalah ini antara lain :
1. Pernikahan dan permasalahannya
2. Mahram Nikah
1.2. Tujuan
1. Pembaca mampu memahami tentang pernikahan dan permasalahannya
2. Pembaca dapat mengetahui laki-laki dan perempuan yang haram dinikahi
3. Pembaca dapat memahami sebab-sebab mahram
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI
2.1. Pernikahan dan Permasalahannya
2.1.1. Rukun dan syarat nikah
Nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan / tata cara shalat.
2.1.1.1. Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya.
2.1.1.2. Syarat Nikah
Syarat nikah adalah sebagai berikut:
1. Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
2. Keridhaan dari masing-masing pihak, terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
3. Adanya wali bagi calon mempelai wanita, apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain.
2.1.2. Pernikahan yang tidak syah atau haram
Apabila berlaku pernikahan di antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang tidak diketahui ada cacat-celanya, maka bolehlah kedua belah pihak atau salah satu daripadanya khiar.
Khiar adalah maksud salah satu pihak samada suami atau isteri mempunyai hak untuk memilih di antara diteruskan nikahnya atau fasakh
Jadi pernikahan boleh dilanjutkan atau tidak dilanjutkan, harus memperhatikan rukun dan syarat pernikahan atau ada tidaknya cacat atau cela.
Pernikahan menjadi haram hukumnya bagi seseorang laki-laki yang menikahi wanita Apabila rukun dan syarat nikah tidak dipenuhi maka pernikahan tidak syah atau haram. Sebab-sebab pernikahan menjadi tidak syah antara lain :
1. Tidak memenuhi Rukun dan Syarat Pernikahan.
2. Ada cacat atau cela antara lelaki dan perempuan yang melakukan pernikahan
3. Karena sebab mahram
2.2. Mahram Nikah
Dalam ajaran Islam ada ketentuan hukum bahwa tidak setiap pasang laki-laki dan perempuan boleh dan syah melangsungkan pernikahan. Banyak diantara pasangan laki-laki dan perempuan karena sebab-sebab tertentu mereka haram menjalin akad pernikahan. Laki-laki yang tidak boleh menikah dengan perempuan tertentu disebut mahran perempuan. Sebaliknya perempuan yang tidak boleh menikah dengan laki-laki tertentu disebut mahram laki-laki. Jadi laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi disebut mahram.
Masalah mahram merupakan salah satu masalah yang penting dalam syari’at Islam. Karena masalah ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan hubungan mu’amalah diantara kaum muslimin, terutama bagi muslimah. Allah Ta’ala telah menetapkan masalah ini sebagai bentuk kasih sayang-Nya juga sebagai wujud dari kesempurnaan agama-Nya yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.
Contoh hubungan mahram adalah seorang ibu yang menjadi mahram buat anaknya. Tidak boleh atau tidak mungkin terjadi hubungan pernikahan antara ibu dengan anak. Demikian juga seorang laki-laki menjadi mahram buat saudara wanitanya, dengan tidak boleh adanya pernikan sedarah.
Contoh hubungan non muhrim adalah antara seorang laki-laki dengan saudara sepupunya yang wanita. Atau antara seorang laki-laki dengan anak pungutnya yang wanita. Meski anak itu telah dipeliharanya sejak bayi, namun secara nasab anak itu bukan anaknya sendiri tapi anak orang lain. Sehingga hubungan antara ayah angkat dengan anak angkatnya itu bukan mahram. Dan dimungkinkan terjadinya pernikahan antara mereka berdua.
Mirip dengan mahram, kita juga sering mendengar istilah muhrim, yang asal katanya sama-sama dari kata haram. Namun makna muhrim adalah orang yang sedang melakukan ibadah ihram, di mana baginya diharamkan untuk memakai parfum, mencabut rambut, membunuh bintangan atau berburu dan perbuatan lain.
Sedangkan istilah muabbad bermakna abadi, berkesinambungan, terus-terusan, un-limtedatau selamanya. Dan makna ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu untuk sementara waktu, temporal, limited dan terbatas waktunya. Sewaktu-waktu bisa berubah keadaannya.
Maka bila kedua istilah itu kita padukan menjadi mahram muabbad, artinya adalah hubungan kemahraman yang bersifat abadi, seterusnya, tidak akan pernah berubah dan selama-lamanya. Sedangkan mahram ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu hubungan kemahraman yang bersifat sementara, temporal,sewaktu-waktu bisa saja berubah dan tidak abadi.
Para ulama telah menyusun daftar hubungan kemahraman yang muabbad dan yang ghairu muabbad sebagai berikut :
1. Mahram Muabbad
Mereka yang termasuk mahram selama-lamanya bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama karena hubungan nasab . Kedua, karena hubungan persusuan.
a. Mahram karena Nasab
1. Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
2. Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
3. Saudara kandung wanita.
4. `Ammat/ Bibi .
5. Khaalaat/ Bibi .
6. Banatul Akh/ Anak wanita dari saudara laki-laki.
7. Banatul Ukht/ anak wnaita dari saudara wanita.
b. Mahram karena Mushaharah
Sedangkan kemahraman yang bersifat sementara adalah kemahraman yang terjadi akibat adanya pernikahan. Atau sering juga disebut dengan mushaharah . Mereka adalah:
1. Ibu dari isteri .
2. Anak wanita dari isteri .
3. Isteri dari anak laki-laki .
4. Isteri dari ayah .
c. Mahram karena Penyusuan
1. Ibu yang menyusui.
2. Ibu dari wanita yang menyusui .
3. Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya .
4. Anak wanita dari ibu yang menyusui .
5. Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
6. Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
Ini berlaku untuk selama-lamanya meskipun terjadi kematian, perceraian ataupun pindah agama.
Konsekuensi Hukum Sesama Mahram
Hubungan kemahraman yang ada dalam daftar di atas, baik yang muabbad maupun yang ghairu muabbad, sama menghasilkan konsekuensi hukum lanjutan, selain tidak boleh terjadinya pernikahan. Di antaranya adalah:
· Kebolehan berkhalwat antara sesama mahram
· Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
· Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
2. Mahram Ghoiru Muabbadah
Adapun yang dimaksud dengan mahram ghoiru mu’abbadah adalah wanita-wanita untuk sementara waktu saja, namun bila terjadi sesuatu seperti perceraian, kematian, habisnya masa iddah ataupun pindah agama, maka wanita itu boleh dinikahi. Mereka adalah:
1. Wanita yang masih menjadi isteri orang lain tidak boleh dinikahi. Kecuali setelah cerai atau meninggal suaminya dan telah selesai masa iddahnya.
2. Saudara ipar, atau saudara wanita dari isteri. Tidak boleh dinikahi sekaligus juga tidak boleh berkhalwat atau melihat sebagian auratnya. Kalau isteri sudah dicerai maka mereka halal untuk dinikahi. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari isteri.
3. Isteri yang telah ditalak tiga, haram dinikahi kecuali isteri itu telah menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian dicerai dan telah habis masa iddahnya.
4. Menikah dalam kesempatan dengan melakukan ibadah ihram. Bukan hanya dilarang menikah, tetapi juga haram menikahkan orang lain.
5. Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Kecuali bila tidak mampu membayar mahar wanita merdeka karena miskin.
6. Menikahi wanita pezina, kecuali yang telah bertaubat taubatan nashuha.
7. Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah, kecuali setelah masuk Islam atau pindah memeluk agama yahudi atau nasrani.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Jadi pernikahan boleh dilanjutkan atau tidak dilanjutkan, harus memperhatikan rukun dan syarat pernikahan atau ada tidaknya cacat atau cela.
Pernikahan menjadi haram hukumnya bagi seseorang laki-laki yang menikahi wanita Apabila rukun dan syarat nikah tidak dipenuhi maka pernikahan tidak syah atau haram.
Dalam ajaran Islam ada ketentuan hukum bahwa tidak setiap pasang laki-laki dan perempuan boleh dan syah melangsungkan pernikahan, karena sebab-sebab tertentu mereka haram menjalin akad pernikahan. Laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi disebut mahram.
3.2. Saran
Perkahwinan adalah merupakan sunnah Rasulullah s.a.w. dan ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah An - Nisaa' - Ayat 3, maka nikahlah menurut ajaran Islam yang sesuai dengan Rukun dan syarat nikah yang benar, tidak ada cacat atau cela dan tidak mahram.
Jika terjadi pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tidak syah maka hukumnya haram. Apabila dipaksakan untuk tetap berjalan dalam kehidupan berumah tangga, maka orang tersebut senantiasa hidup dalam perzinaan.
Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan sebaiknya memperhatikan petuah orang jawa dahulu yaitu bibit, bobot dan bebet , artinya tahu silsilah keturunan, kepribadian dan perilakunya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar